Mengenai Saya

Foto saya
jika saya menilai diri saya sendiri maka sudut subjektif akan selalu menemani dengan setia maka alangkah lebih baiknya pembaca blog saya yang menilai tentang saya.

Sabtu, 09 Juni 2012

Kritik (sedikit) metode guru berdiskusi


Dalam pendidikan disekolah sering kalanya guru melakukan metode diskusi untuk menciptakan pembukaan keran pikiran. Negara kita memang negara demokrasi tapi sayang negara yang kita banggakan ini nampaknya malu-malu dalam menjalankan demokrasi dalam bidang pendidikan. Saya jadi teringat buku Soe Hok Gie tentang diskusi yang terjadi antara guru dan murid
Ketika kelas III mulai aku sudah janji tak mau debat lagi dengan dia. Aku akan pasif saja selama berada dikelas. Tapi dia nyuruh aku. Terpaksa, adu lidah pula, walaupun sedikit. Dia tanya tentang kebudayaan Trinil. Ada yang jawab itu kebudayaan setengah manusia dan setengah kera. (sejak kapan kera berkebudayaan? Apakah memetik buah dengan tangan oleh kera sama dengan kebudayaan?). dia lalu tanya padaku. Aku bilang tak tahu tentang kebudayaan Trinil. Sebab Phithecantropus erectus tidak meninggalkan benda budaya. Kita mendapati makhluk yang sama (homo pekinensis) yang meningallkan benda-benda budaya. Jadi mungkin Kebudayaan Trinil sama dengan kebudayaan Homo pekinensis. Tapi dia bilang itu kurang benar. Pokoknya ia memutar-mutar. Aku diam saja, nanti dia marah kalo aku sebut benar-benaran. (catatan seorang demonstran – soe hok gie)
soe hok gie
Ini adalah contoh diskusi yang terjadi ditahun 1960 pada zaman Soe Hok Gie, selazimnya seorang guru, seharusnya mempunyai sesuatu yang lebih. Lebih paham, lebih pintar dan lebih bijak. Namun apa yang terjadi di diskusi tersebut, si guru hanya mencari kesalahan siswa dan tiada yang lebih jahat daripada “menjatuhkan siswa didepan teman-teman”. Dalam sosiologi ada sebuah teori labeling, yaitu menjadikan label atau trend mark seseorang. Dalam hal ini kita bisa melihat si murid yang mempunyai pemikiran berbeda dengan si guru malah dijatuhkan lalu dianggap “pembangkang”.
Dalam metode diskusi, guru dituntut mempunyai pengetahuan yang mumpuni, tidak ketinggalan jaman dan mampu mendalami bahasa siswa. Saya ambil contoh, berapa jumlah skripsi yang ada di Universitas di jakarta?? Apakah itu merubah cara pikir penduduk jakarta?? Tidak!! Karena skripsi itu menggunakan bahasa baku atau ilmiah sehingga sulit bagai masyarakat menguyah hasil penelitian tersebut. Karena sejatinya orang pintar adalah bukan karena title S1 sampai Profesor, tapi yang mampu menterjemahkan bahasa ilmiah ke bahasa sehari-hari. Sehingga skripsi atau makalah maupun paper bisa berguna dalam kehidupan sosial, lalu kembali ke masalah diskusi, sebagai tenaga guru yang profesional kita juga harus mampu mengerti dengan bahasa anak sekarang (modern) sehingga lebih mudah memberikan materi kepada mereka dan yang pasti jangan mengadili suatu statement tapi lebih baik menggiring sebuah opini agar menjadi wacana yang bisa didebatkan, itulah isi maksud diskusi. Bisa jadi murid lebih tahu dari guru karena dunia internet (baca ; Global )Tidak ada yang final dalam diskusi, dan memang tidak ada yang final di pengetahuan sosial. Karena semua akan selalu *berdialektika.

*meminjam istilah Marx
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar