“Masa depan bangsa terletak pada
tangan kreatif generasi muda”
– Prof Dr S Nasution. M.A
Tulisan
ini dimulai dari kata-kata sebuah buku mengenai pendidikan bangsa ini. Tulisan mengenai
sistem pendidikan Indonesia yang nampaknya hanya berjalan ditempat atau malah
terdegradasi?? Menyikapi dengan adanya Ujian Nasional yang notabenenya adalah
sebuah produk kegagalan sistem yang (terus) dilestarikan. Saya mengambil sikap
bahwa pendidikan indonesia jauh dari kata ideal.
kata-kata yang sangat humanis |
Pendidikan
Indonesia sudah jauh ada sebelum negara ini ini terbentuk pada tahun 45. Pada zaman
kerajaan Sriwijaya sudah ada lembaga pendidikan Universitas Nalanda, kemudian
pada zaman penjajahan Belanda, para penduduk menimba ilmu kepada pemuka agama
dengan cara mondok atau menginap, sementara pada zaman pendudukan Jepang
pendidikan mulai terfokus kepada pelajaran kinestetik dikarenakan sistem
pendidikan Jepang yang mendahulukan fisik. Kemudian pada zaman pasca revolusi
pendidikan Indonesia sangat erat dengan muatan politik, Orde Lama contohnya,
menitik beratkan kepada pendidikan politik sementara Orde Baru mencoba
menstabilkan pendidikan kepada ekonomi. Setelah peristiwa tragedi 1998 mulailah
paradigma pendidikan berubah. Gaya khas tentara (otoriter) diubah menjadi
humanis. Kendala anggaran 20% nampaknya tiada jadi masalah ketika pemerintah
berhasil mengucurkan dana sesuai amanat UU tersebut.
Pendidikan
Indonesia terlihat seperti akan lepas landas, namun apa yang terjadi?? Jauh api
dari pada panggang, apa yang diinginkan jauh dari kenyataan, kita nilai dari
segi fisik bangunan sekolah, apa yang ada di pulau Jawa berbeda dengan Nusa
Tenggara Timur, atau tidak usah jauh-jauh, bandingkan sekolah yang ada di Jakarta
dan pinggiran Jakarta. Kemudian kemana dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah)??
Banyak penyimpangan yang terjadi, bahkan dalam lembaga survei di jabarkan bahwa
sektor pendidikan memasuki daftar 4 besar dalam hal korupsi! Lalu mari kita
telisik kepada kualitas seorang guru, dengan bermodal sertifikasi maka seorang
guru akan dianggap kompeten dan mumpuni sehingga mendapat tunjangan! Ya saya
tidak munafik kita semua butuh uang, tapi jika melihat semua dengan money oriented lebih baik jangan menjadi
guru, jadilah pegawai bank! (mengacu pada asumsi bahwa pegawai bank berpenghasilan
diatas rata-rata). Lalu yang terakhir adalah masalah Ujian Nasional, hal ini
saya pikir Indonesia belum siap! Dengan problematika yang ada UN seharusnya
hanya menjadi sebuah indikator ketuntasan belajar, jangan sebagai judgement maupun sebagai penilaian akhir
sebuah pendidikan. Apakah kita lupa bahwa waktunya anak-anak adalah bermain?? Dan
apakah kita lupa bahwa anak mempunyai 8 kecerdasan berfikir. Kita memang
membutuhkan orang yang pintar seperti Habibi, namun kita juga butuh orang
seperti Bambang Pamungkas, ataupun Butet. Jika semua anak-anak digiring
opininya menjadi Einstain maka apa guna Tuhan membuat manusia bermacam-macam.
Bangsa
ini harus tersadar bahwa sistem pendidikan kita telah salah, pendidikan saat
ini telah menyebabkan kebudayaan kreatif dalam hal negatif, lihatlah banyak siswa
yang bangga karena lulus UN dengan mencontek, dan lihatlah mereka yang tragis
tidak mau mencontek tapi tidak lulus?! Ironi?? Kelaziman?? Atau sebuah kepastian??
Ironi karena berbuat jahat untuk mendapatkan sesuatu, kelaziman karena inilah
hidup, penuh kemunafikan dan kepastian karena manusia jujur sedikit jumlahnya?!
Inilah refleksi pendidikan kita. Pendidikan INDONESIA.