Akhir-akhir ini kita disuguhkan
tentang kekacauan ujian nasional U.N. ujian ini bersifat nasional tapi pada
tahun2013 malah bersifat daerah, kenapa? Karena keterlambatan naskah soal dari
pusat sehingga tiap daerah mempunyai waktu tersendiri melaksanakan UN, bahkan
keterlambatan ini sampai 11 provinsi. Saya sedari dulu (dari awal mengikuti UN)
adalah orang yang menolak sistem penilaian hasil siswa dengan UN. Memang
sekarang menggunakan presentase 60% dari sekolah dan UN 40% tapi apa yang
terjadi dilapangan? Hal itu malah membuat guru berlomba-lomba mengatrol nilai,
padahal si guru lupa bahwa proses pendidikan bukan hanya soal nilai tapi moral.
Demoralisasi manusia Indonesia juga mendapat pesentase dari kegagalan
pendidikan kita yang bermuara pada hasil. Saya jadi teringat kata-kata Prof
Yusril Ihza Mahendra “kita anti korupsi, tapi kita membangun sistem yang
membuka peluang korupsi” inilah yang terjadi di pendidikan kita. Mereka pembuat
kebijakan telah lupa, bahwa ingin bersaing dengan Singapura atau Malaysia boleh
saja tapi dengan merampas kebebasan anak-anak untuk bermain dengan diberi
bebean target nilai untuk mencapai hal tersebut adalah GILA! Kenapa saya sebut
seperti itu? Karena tugas anak-anak adalah bermain, jika anak-anak sekarang
sudah terlalu serius maka ketika dewasa dia akan memutar pikirannya bahwa
sekaranglah, saat dewasa saya bisa bermain, maka jangan kaget saat Gus Dur
pernah berkata bahwa DPR seperti taman kanak-kanak (miris).
Harapan
saya hanya sederhana, tulisan saya mengenai UN sudah banyak (bisa dilihat di
tulisan sebelumnya). Pemilik kebijakan pendidikan harus dengan cermat
mendjugment peserta didik dengan nilai yang menjadi pacuan akhir, kita
sama-sama tahu bahwa T. Alfa Edison dan A. Einstain dianggap bodoh dari gurunya tapi apa yang berhasil dia lakukan
malah melebihi gurunya, artinya pendidikan itu dinamis, setiap siswa mempunyai
kecerdasan yang lain, jika ada kecerdasan psikomotorik, kognigtif dan afektik
maka seharusnya pemerintah itu sadar bahwa Ujian Nasional harus segera di
hentikan dan diganti dengan ujian daerah serta hanya menjadi indikator atau
pemetaan diaman lokasi daerah yang perlu diintensifkan. Pembebanan mata
pelajaran yang terlalu padat lebih baik di kurangi dan anak disalurkan minat
dan bakatnya sesuai kemampuan dan keinginannya, terus terang beban anak terlalu
banyak, mungkin guru bisa pintar karena hanya mengajar satu mata pelajaran tapi
anak?? Delapan mata pelajaran lebih harus dia lewati, sungguh berat menjadi
anak zaman sekarang, semoga pemilik kebijakan pendidikan bisa bijak dalam
mendidik kebijakananya.