Dalam
pendidikan disekolah sering kalanya guru melakukan metode diskusi untuk
menciptakan pembukaan keran pikiran. Negara kita memang negara demokrasi tapi
sayang negara yang kita banggakan ini nampaknya malu-malu dalam menjalankan
demokrasi dalam bidang pendidikan. Saya jadi teringat buku Soe Hok Gie tentang
diskusi yang terjadi antara guru dan murid
Ketika kelas III mulai aku sudah janji tak
mau debat lagi dengan dia. Aku akan pasif saja selama berada dikelas. Tapi dia
nyuruh aku. Terpaksa, adu lidah pula, walaupun sedikit. Dia tanya tentang
kebudayaan Trinil. Ada yang jawab itu kebudayaan setengah manusia dan setengah
kera. (sejak kapan kera berkebudayaan? Apakah memetik buah dengan tangan oleh
kera sama dengan kebudayaan?). dia lalu tanya padaku. Aku bilang tak tahu
tentang kebudayaan Trinil. Sebab Phithecantropus erectus tidak meninggalkan
benda budaya. Kita mendapati makhluk yang sama (homo pekinensis) yang meningallkan
benda-benda budaya. Jadi mungkin Kebudayaan Trinil sama dengan kebudayaan Homo
pekinensis. Tapi dia bilang itu kurang benar. Pokoknya ia memutar-mutar. Aku
diam saja, nanti dia marah kalo aku sebut benar-benaran. (catatan seorang
demonstran – soe hok gie)
soe hok gie |
Ini
adalah contoh diskusi yang terjadi ditahun 1960 pada zaman Soe Hok Gie, selazimnya
seorang guru, seharusnya mempunyai sesuatu yang lebih. Lebih paham, lebih
pintar dan lebih bijak. Namun apa yang terjadi di diskusi tersebut, si guru
hanya mencari kesalahan siswa dan tiada yang lebih jahat daripada “menjatuhkan
siswa didepan teman-teman”. Dalam sosiologi ada sebuah teori labeling, yaitu menjadikan
label atau trend mark seseorang. Dalam hal ini kita bisa melihat si murid yang
mempunyai pemikiran berbeda dengan si guru malah dijatuhkan lalu dianggap
“pembangkang”.
Dalam
metode diskusi, guru dituntut mempunyai pengetahuan yang mumpuni, tidak
ketinggalan jaman dan mampu mendalami bahasa siswa. Saya ambil contoh, berapa
jumlah skripsi yang ada di Universitas di jakarta?? Apakah itu merubah cara
pikir penduduk jakarta?? Tidak!! Karena skripsi itu menggunakan bahasa baku
atau ilmiah sehingga sulit bagai masyarakat menguyah hasil penelitian tersebut.
Karena sejatinya orang pintar adalah bukan karena title S1 sampai Profesor,
tapi yang mampu menterjemahkan bahasa ilmiah ke bahasa sehari-hari. Sehingga
skripsi atau makalah maupun paper
bisa berguna dalam kehidupan sosial, lalu kembali ke masalah diskusi, sebagai
tenaga guru yang profesional kita juga harus mampu mengerti dengan bahasa anak
sekarang (modern) sehingga lebih mudah memberikan materi kepada mereka dan yang
pasti jangan mengadili suatu statement tapi lebih baik menggiring sebuah opini
agar menjadi wacana yang bisa didebatkan, itulah isi maksud diskusi. Bisa jadi
murid lebih tahu dari guru karena dunia internet (baca ; Global )Tidak ada yang
final dalam diskusi, dan memang tidak ada yang final di pengetahuan sosial.
Karena semua akan selalu *berdialektika.
*meminjam istilah Marx