Mengenai Saya

Foto saya
jika saya menilai diri saya sendiri maka sudut subjektif akan selalu menemani dengan setia maka alangkah lebih baiknya pembaca blog saya yang menilai tentang saya.

Senin, 10 Oktober 2011

Guru sebagai tukang sulap??


Guru.Ketika kita mendengar kata guru maka yang terlintas adalah sosok yang patut digugu dan ditiru, tindakan guru adalah sesuatu yang di imitasi oleh siswa. Guru adalah sosok yang dianggap paling bertanggung jawab atas kelangsungan suatu bangsa. Jika menilik kemasa lalu, maka ditemukan fakta bahwa founding father bangsa Indonesia adalah seorang guru,baik itu Ir Sukarno, Muh Hatta, Sjahrir, Tan Malaka dll. Maka tidak salah para orang tua sangat percaya kepada guru yang mengajar disekolah, karena dianggap maha tahu dan bersedia membagi pengetahuan yang ia ketahui dengan siswanya. Jika kita membandingkan sikap para orang tua pada zaman 1940an sampai 1990an terhadapa sikap guru adalah “respect” walaupun anaknya dijatuhi hukuman yang berat namun tetap merasa itu adalah hukuman yang “sepatutnya”. Pada tahun 1998 paska setelah Orde Baru runtuh maka paradigma mulai berganti, siswa yang walaupun pada dasarnya sering berbuat kegaduhan mulai berani memberontak jika diberi hukuman. Walaupun ada juga guru yang seenaknya memberi punishment tapi harus dikritisi juga kenapa si guru memberikan punishment, bukankah tidak ada asap tanpa adanya api??
Pada dasarnya, guru adalah manusia biasa. Sekalipun harus bersikap profesional dengan selalu tersenyum walau istri dirumah sedang hamil tua maupun ibu yang sedang sakit tapi harus setia mendampingi anak didik demi sebuah profesional “keikhlasan”. Guru adalah komponen dalam dunia pendidikan. Guru pada zaman sekarang adalah sebuah tukang sulap. Pada sekolah-sekolah yang notabenenya dalam kategori “mampu” guru diharapkan dapat memaksimalkan potensi siswanya, bahkan mengeksplore minat dan bakat siswa. Guru dituntut agar dapat merubah perangai siswa yang jika pada awal sekolah kurang baik menjadi baik. Dan orang tua berharap bisa mencetak anak yang baik dengan “cukup” memasukkan anaknya kesekolah.
Jika kita kembalikan, sebenarnya proses sosialisasi yang paling awal adalah keluarga. Keluarga dalam bahsa sosiologi adalah sosialisasi primer yang dilakukan untuk bisa memasukkan (internalisasi) norma dan nilai yanga ada maupun berkembang dimasyarakat. Namun jika melihat kehidupan yang kapitalis maka sang orang tua hanya sibuk mencari uang dan menyerahkan pendidikan anak ke sekolah 100%, maka terjadilah sesuatu yang menyimpang, misalnya dengan prilaku yang kurang baik dikarenakan kontrol yang tidak ada oleh orang tua sehingga lebih banyak bermain dengan teman-teman maupun lingkungan yang buruk, dan ini disebut sub budaya menyimpang.
Sejatinya, jika kita menjadi orang tua pasti kita ingin yang terbaik dan dengan alasan itulah para orang tua mencari sekolah yang diangap terbaik, tapi ingatlah bahwa sosialisasi yang pertama terjadi di keluarga, jika kita sebagai orang tua dapat menginternalisasi nilai-nilai positif maka niscaya anak kita tidak perlu banyak penanganan dengan guru.
Guru terbaik tidak bisa berbuat banyak tanpa bantuan orang tua, guru hanya dapat memoles bakat siswa dan attitude dengan benar jika dirumah juga diajari dengan baik, karena percuma disekolah baik namun dirumah buruk, akan terlihat kontras dan pastinya menimbulkan tanda tanya yang besar, apa yang terjadi?? Namun itulah yang terjadi pada saat ini, banyak orang tua lepas tangan kepada sekolah seolah sekolah adalah lembaga cuci piring dan menyulap anak-anak sesuai dengan cita-cita yang melangit bukan membumi. Sekali lagi ini adalah koreksi bagi para orang tua bahwa GURU BUKAN TUKANG SULAP, para guru masih memerlukan orang tua sebagai lembaga primer yang terpenting dalam perkembangan anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar