Mengenai Saya

Foto saya
jika saya menilai diri saya sendiri maka sudut subjektif akan selalu menemani dengan setia maka alangkah lebih baiknya pembaca blog saya yang menilai tentang saya.

Minggu, 27 November 2011

Patutkah kita pesimis??

Patutkah kita pesimis?? pertanyaan ini muncul begitu saja ketika sesuatu yang kita inginkan tidak tercapai. banyak cara menyikapi sebuah kegagalan, ada yang berkata bahwa kegagalan adalan kesuksesan yang tertunda, buat kaum fatalistik kegagalan ya KEGAGALAN, bukan sukses yang tertunda, dan parahnya, filosofi ini banyak dianut oleh manusia Indonesia. Melihat kegagalan adalah kehancuran adalah pemikiran pesimistik yang harus dirubah.
Paradigma yang harus dirubah adalah semua hal harus dikembalikan kepada Allah SWT, karena pada hakikatnya semua yang hidup pasti akan mengalami cobaan, baik itu hewan, tumbuhan apalagi manusia. Jika kita pernah mendengar bahwa manusia tidak akan diberi cobaan melewati kemampuannya maka seharusnya kita memrefleksi diri, bahwa hanya manusia manusia biasa akan mendapatkan cobaan yang biasa, namun jika manusia itu ditakdirkan menjadi besar dan hebat tentu cobaannya levelnya berbeda. Contoh kongkret ketika melihat ujian Siswa SD dengan Siswa SMA pasti berbeda,semua itu ditujukan untuk menaikkan level keimanan dan ketakwaan seseorang, meminjam istilah Marx tentang "pertentangan kelas" jadilah disini pertentangan kelas atau level cobaan amatir dan cobaan profesional.
Jadikan cobaan adalah bumbu kehidupan, jika anda berhasil melewatinya Insya Allah kebahagian akan muncul, karena menurut saya kebahagian adanya di dunia ide (pikiran) dan materi adalah manifesto dari ide. Intinya biarkan cobaan itu hidup dalam keseharian dan berusahalah yang terbaik serta serahkan semua kepada Allah. Mari kita merevolusi diri dan merubah pola pikir kita... SEMANGAT!! ^_^ 

Rabu, 09 November 2011

Nepotisme


Hari ini kita bicara tentang arti sebuah nepotisme.  Dalam bahasa indonesia, nepotisme berarti kecenderungan untuk memilih keluarga atau siapapun yang dekat dengan mereka yang mempunyai kekuasaaan maka boleh mengisi pos tersebut. Di Indonesia nepotisme bukanlah hal yang baru, disetiap lini kehidupan kegiatan nepotisme selalu ada. Nepotisme jauh sudah ada sebelum indonesia terbentuk, seperti yang kita ketahui bersama, negara Indonesia ada karena konsep kerajaan Majapahit, kerajaan Majapahit merupakan kerajaan adidaya di Asia Tenggara pada abad 14 Masehi sebelum akhirnya hancur, namun untuk budaya tidak pernah hialang. Pada zaman kerajaan semua posisi penting diduduki oleh sanak saudara, bahkan seorang pengganti raja adalah pangeran yang notabenenya anaknya, jelas konsep demokrasi belum dikenal pada saaat itu dan sialnya kita yang sekarang mengenal demokrasi juga mengabaikan demokrasi tersebut. Kita sudah terbiasa dengan kebudayaan feodal yang selalu oportunis jika melihat orang yang kita kenal atau saudara sedang duduk dalam jabatan tinggi. Kita sudah terbiasa menggantungkan sesuatu kepada makhluk hidup yang khilaf.
Dalam dunia pendidikan biasanya ada saja murid yang berasal dari titipan orang tua siswa yang mensisipkan pada saat siswa baru entah itu melalui guru senior (maklum yang junior masih respect sama yang senior) atau kepala sekolah serta yayasan sehingga terjadi anak emas dalam pembelajaran serta lingkungan sekolah yang efeknya sebenarnya merugikan anak tersebut maupun lingkungan sekitar. Sementara dalam dunia pekerjaan juga dapat kita temui karyawan titipan pak manager atau sisipan si “bos”, selain uang pelicin yang membatu kegiatan nepotisme adapula faktor balas budi, mungkin dikehidupan sebelumnya si “bos” mempunyai hutang budi sehingga “ngga enak” kalo tidak menerima dia dipekerjaannya.
Jika kita berfikir jernih mengapa Indonesia tidak maju-maju dalam bidang kesejahteraannya dapat ditarik garis merah antara nepotisme dan hasil yang didapat, nepotisme menghilangkan sifat profesional, nepotisme menghilangkan norma yang telah dibuat yang seharusnya diteggakkan malah sebaliknya. Jika melihat kinerja para menteri yang tidak “right man in right place” jangan kaget kesejahteraan rakyat hanya jalan ditempat dan terombang ambing harga beras dipasar serta minyak dunia yang fluktuatif. 
Inilah nepotisme, sebuah kata yang sudah sangat melekat di negeri Indonesia. Sebuah paradigma yang revolusioner dan massif yang mampu melepaskan kita dari pembiasaan nepotisme. Nepotisme dapat dihilangkan dengan menonjolkan sifat profesional dan ketegasan dalam bertindak dan bersikap. Negeri ini butuh sosok yang tidak “plintat-plintut” yang mengerti apa yang diingininkan rakyatnya, hidup penuh kecukupan beras dan BBM yang bisa dikontrol. Ini adalah tugas Revolusioner untuk menciptakan sesuatu yang biasa tapi “wah”.