Mengenai Saya

Foto saya
jika saya menilai diri saya sendiri maka sudut subjektif akan selalu menemani dengan setia maka alangkah lebih baiknya pembaca blog saya yang menilai tentang saya.

Rabu, 05 Februari 2014

Caleg Merakyat



Fenomena caleg saat ini memang luar biasa. Keinginan memperbaiki nasib suatu bangsa (atau  pribadi) membuat para caleg ini mendaftarkan diri secara seukarela. Ada yang berasal dari tingkat pendidikian tinggi hingga dasar. Landasan berfikir partai mungkin ingin memberikan nuansa baru kepada masyarakat bahwa sekarang partai mempunyai caleg merakyat. Hal itu dibuktikan ketika mereka memberikan nama-nama yang familiar didaerah. Partai ini membuka kesempatan kepada caleg yang berprofesi sebagai tukang sayur, tukang gorengan ataupun yang lainnya untuk mendaftar.
                Sebenarnya tidak ada yang salah. Namun bila kita berbicara mengenai calon dewan apakah dengan kemampuan yang dimiliki mereka kita bisa menitipkan Indonesia kepada mereka? memang kdemokrasi menjamin semua warga negara berhak memilih siapa yang dipilih tapi memilih juga berdasarkan kaulitas kan??
                Fenomena caleg “merakyat” ini menurut saya adalah kegagalan partai terhadap pengkaderan yang dilakukan. Partai paham betul tingkat kecerdasan pemilih di Indonesia. Dengan sebotol air minuman ringan saja pemilih bisa memilih caleg tersebut.  Rasa empati yang tinggi. Sungguh ironi memang. Sebenarnya mudah saja melihat tingkat kecerdasan masyarakat indonesia. Lihat rating acara yang ada dan temukan hasilnya! Ternyata acara naga terbang dan sinetron selalu menghilang menjadi pavorit.
                Itu sudah menunjukkan bahwa kualitas mayoritas masyarakat Indonesia. Secara kuantitas memang sarjana di indonesia begitu banyak, namun apakah sebanding dengan kualitasnya? I dont think so?! Kualitas Sarjana kita juga bisa dipertanyakan, betapa banyak penelitian di lakukan oleh sarjana kita namun nampaknya hanya berakhir di perpustakaan saja.  Inilah kausalitas mengapa adanya fenomena caleg “merakyat” di Indonesia.
                Demokrasi  di Indonesia tidak salah, melainkan orangnya yang salah. Masyarakat kita memang harus dicerdaskan. Saya berfikir bagaimana nanti di DPR diisi orang yang tidak sesuai kompetensinya?! Apajadinya Indonesia di liam tahun mendatang, apakah lebih baik atau sebaliknya?!!.     

Kamis, 26 Desember 2013

Pengkerdilan ide: berpengaruh hingga 2014



Di abad 20-an banyak sekali pemikiran yang berkembang, dari paham liberalisme muncul kapitalisme yang membicarakan masalah ekonomi serta muncul pula Sosialisme yang membahas kaum buruh yang menjadi korban dari kapitalisme lalu muncul pula pemikiran Komunisme sebagai bentuk ekstrim dari sosialisme. Semua pemikiran ini berada di Eropa. Penjajahan Belanda di Indonesia juga membuat pemikiran politik di Eropa sampai di Indonesia. Para akademisi yang belajar di Belanda seperti Sutan Sjahrir dan Muhammad Hatta turut serta menyakini paham sosialisme sebagai pandangan berpolitik. Sukarno sebagai bapak Nasionalisme mendirikan partai Nasional dan menjadikan Marhaenisme sebagai landasan berfikir (Marhaen adalah konsep proletar Indonesia, beda Proletar dan Marhaen adalah alat produksi. Proletar tidak memiliki alat produksi, sedangkan Marhaen mempunyai alat produksi tapi tetap miskin). Dari tokoh Komunis terdapat Tan Malaka yang menjadi orang nomer satu dicari oleh pemerintah kolonial Belanda karena kegiatannya yang mengkordinir pemogokan massal di Semarang serta Surabaya. Selain Tan Malaka ada pula Musso serta Semaoen. Mereka adalah orang-orang Komunis yang menjadi pemimpin PKI. Selain Komunis terdapat pula kaum agamawan yang membuat organisasi seperti Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama seperti KH ahmad Dahlan dan Hasyim Asyari.
Sutan Sjahrir
Setelah Indonesia mencetuskan kemerdekaan pada tahun 1945 para pemimpin nasional dari berbagai ideologi mengisi kabinet yang berbentuk parlementer. Pertarungan ideologi dan gagasan tidak berhenti dalam bentuk pikiran, kadang kekerasan di graas-root juga mempengaruhi. Situasi yang revolusioner mempengaruhi cara pikir serta tindakan para pemimpin nasional. Belanda yang menginginkan kembali menjajah Indonesia juga memperalat orang-orang Indonesia agar membatu Belanda melemahkan Indonesia dari bidang militer dan ekonomi.
Tahun 1960-an adalah bentuk jelas polarisasi pemikiran. Sukarno yang saat itu menjadi Presiden mencetuskan ide lama mengenai Nasakom (Nasional Agama Komunis). Walau nanti pada tahun 1965 PKI melakukan kudeta sehingga membuat efek Sukarno harus menyerahkan jabatan presiden kepada Soeharto namun ide integrasi bangsa melalui Nasakom tetap harus diapresiasi.
Partai Komunis Indonesia
Tahun 1970-an partai politik mulai dikerdilkan, yang awalnya sejumlah 10 menjadi 3 partai dengan asas mutlak yakni Pancasila. Ideologi Komunis menghilang dengan adanya Tap MPRS yang melarang membuat Partai Komunis. Sementara itu golongan Agama terpusat menjadi satu Partai yakni PPP walaupun diwajibkan menerima Pancasila sebagai asas. Sementara golongan Marhaen menjadi Partai Demokrasi Perjungan. Partai yang semakin sedikit membuat pemikiran semakin sedikit, kontrol Orde Baru terhadap pemikiran juga sangat ketat.
Imbas dari kontrol organisasi mempengaruhi pemikiran. Saat pemerintahan Orde Baru Organisasi Masyarakat yang adapun berafiliasi kepada pemerintah. Organisasi KNPI dianggap kepanjangan tangan oleh Pemerintah. Hal ini membuat apatis para pemuda yang tidak percaya organisasi pemerintah.
Runtuhnya Orde Baru membuat pemikaran yang tadinya tersumbat menjadi mencair. Organisasi banyak bermunculan. Euphoria mengenai kebebasan berpendapat kembali bergelora. Munculnya ormas-ormas menandakan adanya kebebasan hak untuk berpendapat. Namun sayang, ormas-ormas yang bermunculan (terutama di Jakarta) berbasis suku dan agama.
Issu SARA sangat sensitive di Indonesia, banyaknya ormas yang berlandaskan SARA adalah menandakan kemerosotan cara berfikir bangsa ini. Mereka membuat ormas kedaerahan yang bertujuan membentuk integritas bangsa, namun bukankah dalam bentuk kedaerahan malah menjadi eksklusif? Dan ormas keagamaan menjadi polisi masyarakat menjadi sebuah anti thesis aparat kepolisian yang dianggap gagal menjaga masyarakatnya?
Sementara Partai politik yang ada saat ini juga kabur mengenai pandangan politiknya, saya menyangsikan banyak partai mengerti mengenai ideologi dasar partai mereka, pandangan politik yang sempit bisa dilihat dari banyaknya “kutu loncat” politisi yang senang berpindah partai. Kekeringan ide dan gagasan ini membuat Indonesia seperti tanpa visi menjelang 2014. Pemilihan Umum yang memilih anggota DPR seperti kehilangan gairahnya, dan calon Presiden tidak ubahnya seperti ritual tahunan yang apapun dan siapapun pemenangnya tidak merubah Indonesia.
               

Kamis, 18 April 2013

(sistem) UN Haruskah dilanjutkan??



Akhir-akhir ini kita disuguhkan tentang kekacauan ujian nasional U.N. ujian ini bersifat nasional tapi pada tahun2013 malah bersifat daerah, kenapa? Karena keterlambatan naskah soal dari pusat sehingga tiap daerah mempunyai waktu tersendiri melaksanakan UN, bahkan keterlambatan ini sampai 11 provinsi. Saya sedari dulu (dari awal mengikuti UN) adalah orang yang menolak sistem penilaian hasil siswa dengan UN. Memang sekarang menggunakan presentase 60% dari sekolah dan UN 40% tapi apa yang terjadi dilapangan? Hal itu malah membuat guru berlomba-lomba mengatrol nilai, padahal si guru lupa bahwa proses pendidikan bukan hanya soal nilai tapi moral. Demoralisasi manusia Indonesia juga mendapat pesentase dari kegagalan pendidikan kita yang bermuara pada hasil. Saya jadi teringat kata-kata Prof Yusril Ihza Mahendra “kita anti korupsi, tapi kita membangun sistem yang membuka peluang korupsi” inilah yang terjadi di pendidikan kita. Mereka pembuat kebijakan telah lupa, bahwa ingin bersaing dengan Singapura atau Malaysia boleh saja tapi dengan merampas kebebasan anak-anak untuk bermain dengan diberi bebean target nilai untuk mencapai hal tersebut adalah GILA! Kenapa saya sebut seperti itu? Karena tugas anak-anak adalah bermain, jika anak-anak sekarang sudah terlalu serius maka ketika dewasa dia akan memutar pikirannya bahwa sekaranglah, saat dewasa saya bisa bermain, maka jangan kaget saat Gus Dur pernah berkata bahwa DPR seperti taman kanak-kanak (miris).
                Harapan saya hanya sederhana, tulisan saya mengenai UN sudah banyak (bisa dilihat di tulisan sebelumnya). Pemilik kebijakan pendidikan harus dengan cermat mendjugment peserta didik dengan nilai yang menjadi pacuan akhir, kita sama-sama tahu bahwa T. Alfa Edison dan A. Einstain dianggap bodoh dari  gurunya tapi apa yang berhasil dia lakukan malah melebihi gurunya, artinya pendidikan itu dinamis, setiap siswa mempunyai kecerdasan yang lain, jika ada kecerdasan psikomotorik, kognigtif dan afektik maka seharusnya pemerintah itu sadar bahwa Ujian Nasional harus segera di hentikan dan diganti dengan ujian daerah serta hanya menjadi indikator atau pemetaan diaman lokasi daerah yang perlu diintensifkan. Pembebanan mata pelajaran yang terlalu padat lebih baik di kurangi dan anak disalurkan minat dan bakatnya sesuai kemampuan dan keinginannya, terus terang beban anak terlalu banyak, mungkin guru bisa pintar karena hanya mengajar satu mata pelajaran tapi anak?? Delapan mata pelajaran lebih harus dia lewati, sungguh berat menjadi anak zaman sekarang, semoga pemilik kebijakan pendidikan bisa bijak dalam mendidik kebijakananya.