Annas Urbaningrum |
Akhir-akhir ini kita disuguhkan
dengan bursa bakal calon ketua umum partai berkuasa (baca: Demokrat). Hal ini
dikarenakan ketua umum sebelumnya Annas Urbaningrum di lengserkan karena
terjerat kasus korupsi. Terjeratnya Annas menjadi hal yang krusial, terutama
momentum pemilihan umum yang akan berjalan di 2014. Annas yang mundur bukan
serta merta mundur begitu saja, sinyal-sinyal Annas bakal terkena kasus bisa
dilihat saat SBY memberikan simbol “pakta integritas” serta status BB Annas
yang membuat kata “Sengkuni”. Sengkuni adalah tokoh perwayangan yang
menghancurkan (musuh dalam selimut). Annas dan SBY adalah orang Jawa, mereka
menggunakan simbol dalam melontarkan kebijakan yang bersifat politik, politik
santun ala Jawa coba diperagakan di partai ini, namun KPK tidak melihat
kemunafikan ini sebagai sebuah tameng. KPK lalu menjerat Annas sebagai
tersangka (sebelumnya sudah ada Andi Malaranggeng-Anggie-Nazarudin).
Mundurnya
Annas baru babak baru, lembaran-lembaran episode (Annas menyebutnya sebagai
sebuah sinetron dalam sebuah wawancara di media televisi). Demokrat bergegas
mencari pengganti. SBY yang sekaligus kepala pemerintahan juga dipusingkan
(padahal seharusnya cukup pusing memikirkan rakyat dari Sabang sampai Marauke).
Elite Demokrat terpecah faksi, yakni Cikeas dan Kebon Nanas. Sebagai partai
yang memenangi pemilu 2009 Demokrat dengan mudah mempunyai kader partai
dimana-mana, namun inilah yang terjadi ketika terjadi dua faksi maka
pertentangan akan meruncing.
Sementara
saya menjadi ironi jika partai pemenang pemilu (mayoritas) sibuk dengan urusan
interen partainya sendiri, bagaimana dengan rakyat yang katanya mereka bela?? Seharusnya
jika sudah memasuki lembaga yang
mengatasnamakan rakyat maka kita harus melepas apa yang disebut dengan
kepentingan golongan! Kita selalu disajikan dengan berita yang seolah Indonesia
negara demokrasi, namun jika demokrasi kita menghasilkan anarki?! Berapa lama
lagi kita bisa mengenal Indonesia??
Diakhir
tulisan ini saya mengingatkan bahaya disintegrasi, perpecahan yang meruncing
bisa membawa kehancuran Indonesia. Elit partai yang bertarung seolah memberi
contoh “yang buruk”, karena memang sejatinya demokrasi kita masih berupa kulit
ari. Amerika yang katanya menjunjung demokrasi (merdeka 1776 atas Inggris) baru
menghargai hak wanita dalam Pemilu pada tahun 1960an, sementara ide demokrasi
itu sendiri oleh Yunani dengan menghilangkan suara bagi budak dan perempuan. Saya
bukan anti-demokrasi tapi akankah lebih baik jika kita memiliki prinsip yang
jelas dulu tentang demokrasi. Karena demokrasi Indonesia masih bersifat absurd.