Mengenai Saya

Foto saya
jika saya menilai diri saya sendiri maka sudut subjektif akan selalu menemani dengan setia maka alangkah lebih baiknya pembaca blog saya yang menilai tentang saya.

Jumat, 20 April 2012

Guru sebagai simbol stagnasi


Saya akhir-akhir ini berfikir, mengapa ada ketertakutan menyampaikan materi terlampau dalam kepada anak-anak SD kelas lima akan membuat mereka pusing?? Hal ini dikarenakan ketika saya hendak mengajar ada seorang rekan guru yang menyampaikan agar materi yang diberikan tidak terlalu mendalam! Jelas hal ini membuat saya bingung. Saya adalah orang yang suka mengeksplore suatu materi, entah itu dari bacaan buku, internet maupun media yang lain. Jika, saya memberikan suatu materi yang dalam kepada anak SD yang notabenenya baru kelas lima saya dianggap salah dimata “mereka”.
Materi yang saya ajarkan adalah ILMU PENGETAHUAN SOSIAL. Pelajaran yang satu ini adalah pelajaran yang “cukup” membosankan. Saya tidak memungkiri banyak faktor yang mengakibatkan para pelajar memberikan julukan seperti itu, entah karena banyak teori, banyak fakta yang harus dimengerti, lalu tanggal-tanggal yang wajib di hapal serta nama orang yang tidak kita kenal menjadi bumbu dalam pelajaran ini. Saya adalah mantan mahasiswa jurusan sejarah, dan dikelas lima banyak materi sejarah yang bercerita tentang sejarah Indonesia dari zaman kerajaan sampai paska kemerdekaan.
Awalnya saya mengajar dengan beracuan kepada buku “paket” sekolah ditambah dari sumber referensi yang lain, saya memberikan materi dengan semangat, namun ada kritikan kepada saya jika anak SD tidak perlu diberikan materi terlalu banyak soal IPS,apalagi tentang soal yang berbau analisis. Saya bingung?! Memang sebegitu bodohnya anak SD kelas lima untuk diberikan pengetahuan secara setengah-setengah, tentu batasan untuk anak SD saya juga paham, bahwa soal analisis hanya untuk satu atau maksimal untuk dua langkah.
Sebagai (eks) mahasiswa sejarah, sudut pandang saya adalah sejarah sentris, lihat peran ekstrem para golongan muda untuk mengamankan Soekarno dan Hatta, kemudian bagaimana Amir Sjarifudin menolak bekerja sama dengan pihak Jepang ketika dia menjadi mahasiswa, lalu bagaimana mudanya para pemimpin Indonesia dalam kancah perpolitikan internasional seperti Tan Malaka, Sutan Sjahrir, Semaoen dan D.N Aidit. Mereka adalah golongan muda! Lalu apa salah saya memberikan harapan perubahan kepada bibit-bibit terbaik bangsa ini??
mikir pak..
Sudah saatnya kita bersikap tegas untuk melawan pembodohan secara halus ini, dunia kita penuh dengan kapitalisme, pengambilan jati diri secara diam-diam. Mereka dengan pintar mengeksploitasi secara halus semua kegiatan kita, sampai di sektor pendidikan! rata-rata (berarti tidak semua) guru-guru menganggap “kurang pintar dan pengalaman” baca:Bodoh para siswanya kita jangan lupa, sekarang zaman telah berubah, para siswa dapat mengakses informasi dari mana saja. Internet sudah menjadi media yang populer. Jika terus bermuslihat dan tetap berdiam diri, maka peran guru tidak lebih dari sebuah simbol stagnasi, bukankah proses belajar berarti “dari tidak tahu menjadi tahu??”.